oleh Tiara Limoharjo
Bulan Februari lalu, Pemerintah Kota Makassar mengubah nama Jalan Jampea menjadi Jalan Hoo Eng Djie. Jalan tersebut berada di Kelurahan Pattunuang, Kecamatan Wajo – wilayah yang termasuk dan dikenal sebagai kawasan Chinatown Makassar. Gerbang merah lengkap dengan aksara Cina kokoh berdiri menjadi pertanda sekaligus menyambut warga Kota Makassar memasuki wilayah yang lekat dengan budaya peranakan.
Sebagai warga Makassar yang selama 17 tahun tinggal di kawasan Pecinan, perubahan nama Jalan Jampea sudah saya duga akan memulai berbagai perbincangan. Narasi utama yang muncul dari “riset” kecil-kecilan yang saya lakukan di platform media sosial seperti Instagram, X (Twitter), dan Tiktok, semuanya memiliki benang merah yang sama:
Hari ini Cina mengubah nama jalan, mana kita tahu besok apa? Jangan ‘kita’ biarkan ‘mereka’ seenaknya hidup di Indonesia.
Entah perkataan-perkataan tersebut dilontarkan oleh buzzer atau bukan, melihat banyaknya jumlah engagement yang berhasil terpancing, menunjukkan narasi-narasi perpecahan seperti ini masih hidup di tengah masyarakat. Dialog us vs them digunakan untuk menunjukkan batasan imajiner antara satu grup dan grup lainnya. Seperti yang pernah diungkapkan Charlotte Setijadi, bahwa dialog anti-cina, masih kuat menjadi “kayu bakar” ketika situasi politik sedang tidak stabil, atau ketika pengalihan isu ingin dilakukan.
Tulisan ini tidak ingin terlalu jauh jatuh ke dalam kajian antaretnis – yang tentu saja penting sebagai pisau untuk membelah sentimen-sentimen tadi. Tetapi, melalui tulisan ini, saya berusaha menggeser diskusi dengan melihat sebuah pecinan sebagai subjek. Mengapa ia ada? Dan yang kedua, mengapa kehadirannya penting untuk warga Kota Makassar – secara khusus komunitas peranakan?
Pecinan: Lebih dari Lampion dan Warna Merah
Ketika mendengar kata pecinan di Indonesia, mungkin kita langsung mengingat Glodok di Jakarta, Ketandan di Yogyakarta, atau Singkawang. Belum ada angka yang pasti mengenai jumlah kampung pecinan atau chinatown di Indonesia. Munculnya kampung-kampung ini dapat ditelusuri sebelum zaman penjajahan Belanda di Indonesia.
Warga peranakan di Makassar sendiri dicatat berimigrasi pada sekitar abad ke-17 sampai akhir abad ke-19, dan pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20. Mereka berasal dari berbagai daerah dan etnis di daratan asal, bergerak di profesi yang berbeda, dan berbicara bahasa yang beragam.
Demi memegang kekuasaan tunggal, pemerintah kolonial menciptakan kotak-kotak permukiman di perkotaan, yang mensegregasikan masyarakat menurut etnis mereka. Melalui segelintir peraturan, masyarakat di bawah penjajahan dibatasi tempat tinggal dan ruang geraknya menurut tiga kelas yang berbeda. Keberagaman imigran Cina dikumpulkan menjadi satu kantong kota di dalam kampung pecinan.
Seringkali karena adanya istilah yang diberikan khusus kepada suatu wilayah permukiman, atau adanya identitas kultural yang berbeda dari wilayah lainnya, kampung pecinan dianggap sebagai tempat tinggal yang eksklusif untuk warga kota dengan etnis tertentu. Stigma yang dilekatkan sarat dengan tindakan pengucilan secara sadar. Bahwa ada keinginan untuk membentuk “kota di dalam kota”.
Padahal kenyataannya, pecinan tidak memiliki gerbang atau penjaga keamanan yang bertugas untuk menjaga wilayah dan menentukan siapa yang boleh masuk atau tidak. Tidak ada larangan khusus mengenai kepemilikan tanah atau rumah di pecinan. Pecinan bersikap terbuka untuk semua – untuk datang, beraktivitas, bersosialisasi, dan bermukim.
Pecinan untuk Semua
Kampung Pecinan di Makassar terletak di dekat pelabuhan Kota Makassar. Lokasi terbentuknya kawasan ini bukan tanpa alasan. Jauh sebelum Indonesia berada dibawah penjajahan, imigran Cina sudah terlebih dahulu datang membawa barang dagangan melalui jalur laut. Mereka membongkar muatan dan berdagang di sekitar pelabuhan. Serpihan sejarah tersebut masih dapat warga Makassar temui di jalanan sekitar pecinan: Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara, Jalan Sangir, Jalan Irian, dan jalanan lainnya yang berdekatan.
Aktivitas ekonomi yang berada di dalam pecinan memiliki peran penting dalam mengerakkan perekonomian Kota Makassar. Misalnya, Makassar Trade Center (MTC) dan Pasar Sentral pernah menjadi ikon dan ramai dipenuhi warga kota yang ingin melakukan aktivitas jual-beli. Hingga hari ini, pecinan masih berusaha menjadi kawasan perdagangan Makassar. Meskipun, mungkin aktivitasnya sudah tidak seramai tahun kejayaannya.
Diluar sebagai aktivitas perekonomian, pecinan mempunyai makna tersendiri untuk masyarakat Tionghoa di Makassar. Setelah reformasi 1998, masyarakat Tionghoa-Indonesia diberikan keleluasan untuk mengekspresikan identitas mereka melalui tiga pilar utama: pers/media, sekolah, dan organisasi[1]. Keleluasan ini terlihat dari mulai munculnya kegiatan-kegiatan budaya atau les Bahasa Mandarin.
Kebebasan ini diberdayakan oleh kelompok Tionghoa-Indonesia untuk menegosiasikan kembali bagian dari identitas mereka yang sempat tersupresi. Masa Tahun Baru Cina atau Imlek kembali dirayakan secara terbuka, dengan gaya perayaan yang kaya akan keberagaman dan konteks lokal. Arak-arakan dilakukan perkumpulan beberapa kelenteng, cetiya, dan vihara besar di Kota Makassar. Pasar malam yang merupakan agenda tahunan perayaan Cap Go Meh penuh dikerubungi seluruh warga Kota Makassar.
Perayaan-perayaan yang lekat dengan identitas kultural komunitas peranakan, nyatanya dijadikan ruang terbuka bersama bagi seluruh komunitas Kota Makassar. Seluruh warga kota diundang untuk turut merayakan acara-acara ini, melalui gaya mereka sendiri tanpa perlu mengorbankan atau berasimilasi ke dalam satu – dengan basis saling menghormati dan menegosiasikan etos murah hati[2].
Pecinan menyimpan sejarah yang penting untuk kota. Dari penjual-penjual makanan legendaris yang sudah dikelola selama tiga generasi, atau arsitektur khas yang masih megah terpampang sebagai relik dari zaman sebelum penjajahan. Keterbukaan pecinan merupakan bukti fisik gagalnya segregasi yang diupayakan oleh pemerintah kolonial. Bahwa, warga dapat hidup berdampingan di dalam satu kota – tanpa adanya sekat identitas kultural. Seharusnya, itu yang terus kita rawat bersama.
Melestarikan pecinan bukan hanya demi identitas komunitas peranakan saja, tetapi merupakan bukti sejarah penting dari Kota Makassar. Ini bukan hanya tugas komunitas peranakan, tetapi tugas kita semua sebagai warga kota. Dengan berdirinya pecinan di sebuah kota, kita berjuang untuk keberadaan kota yang lebih inklusif terhadap keberagaman.
No comments:
Post a Comment