Tulisan Teman Kota


Kekuasaan tidak hanya ada, meminjam istilah Abidin Kusno (2009), tetapi juga mewujud dalam fitur fisik perkotaan. Gedung, monumen, museum, atau ruang-ruang publik adalah representasi spasial dari kekuasaan yang tidak bisa dimaknai secara sederhana sekadar ruang fungsional. Simbol-simbol fisik itu mengandung identitas dan makna, baik yang ingin diperlihatkan maupun yang ingin disembunyikan; baik yang ingin dibentuk maupun yang ingin dihancurkan. Kekuasaan bekerja di balik semuanya. 


Stadion adalah salah satu ruang publik yang menjadi arena kekuasaan membentuk identitas dan makna. Karena kemampuannya menghimpun massa dengan skala besar, dan dirancang dengan arsitektur yang megah, stadion selalu menarik bagi banyak kepentingan. Hitler membangun stadion di Berlin pada tahun 1934 tidak lepas dari agenda propaganda. Pemimpin Nazi itu memanfaatkan status Berlin sebagai tuan rumah Olimpiade 1936 untuk menunjukkan kedigdayaan Jerman dan menyerbarluaskan gagasan rasialnya.


Di Indonesia, kita tahu, ketika Stadion Gelora Bung Karno dibangun tahun 1960, pada dasarnya Presiden Soekarno sedang menjalankan politik mercusuarnya. Pada saat itu, Stadion Gelora Bung Karno merupakan salah satu stadion termegah di Asia. Bung Karno ingin Indonesia dikenal sebagai kekuatan baru di dunia, tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai negara yang baru merdeka. Selain itu, kita bisa membacanya sebagai cara negara untuk mengkondisikan masyarakat pasca-kemerdekaan dalam menghadapi dunia modern (Abidin Kusno, 2009).


Pembangunan Stadion di Kota Makassar


Stadion di Kota Makassar, tahun-tahun terakhir, hangat dibicarakan. Publik pecinta sepak bola Kota Makassar ramai-ramai menuntut pembangunan stadion yang layak, terutama untuk markas klub PSM Makassar. Namun, pembangunan stadion tersendak-sendak oleh aktor kekuasaan sendiri. Lewat polemik stadion, kita bisa menyaksikan bagaimana kekuasaan bekerja.


Mundur sedikit dari tahun pembangunan Stadion Gelora Bung Karno, yakni tahun 1957, stadion yang diberi nama Stadion Mattoanging terlebih dulu dibangun dengan melibatkan tentara di bawah pimpinan Panglima Kodam, Andi Mattalatta. Sang Panglima disebut menggelontorkan dana pribadi untuk membangun stadion ini demi mewujudukan Kota Makassar sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) IV 1957. Ketika banyak kota belum siap menyelenggarakan PON, maka dengan semangat harga diri atau siri na pacce, Andi Mattalatta meyakinkan Bung Karno bahwa hajatan itu dapat terselenggara di Kota Makassar. 


Pembangunan Stadion Mattoanging sesungguhnya juga adalah cara negara untuk mengkonsolidasikan identitas nasional di Kota Makassar. Masa-masa pembangunan stadion itu, dan termasuk penyelenggaran PON IV, adalah masa genting di Kota Makassar. Kota yang dulu bernama Ujung Pandang ini adalah titik penting kelangsungan negara kesatuan yang baru berdiri. Bung Karno pada tahun itu sangat disibukkan oleh gerakan-gerakan pro-federasi pasca pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), termasuk gerakan yang disebut di buku-buku sejarah sebagai Peristiwa Andi Aziz 1950. Setelah Andi Aziz menyerah, giliran pasukan Kahar Muzakkar yang menentang Bung Karno. Kahar Muzakkar memberontak hingga periode 1960. 


Stadion Mattoanging menjadi alat negara untuk mencegah pengaruh gerakan-gerakan pemberontak. Para pemuda diarahkan untuk menyalurkan energinya melalui olahraga. Upaya ini mirip dengan sejarah berbagai stadion di Eropa. Pasca perang dunia pertama, pembangunan stadion di Eropa digerakkan oleh kekuatan politik dan pengusaha untuk mengalihkan perhatian kelas pekerja. Bahkan, secara khusus, seperti Stadion Amedee Prouvost, Prancis, dibangun oleh tokoh-tokoh industri di tengah perumahan pekerja. 


Namun, mari kita cermati perkembangan lain terkait stadion di Kota Makassar.


Tahun 2001, Gubernur Zainal Basri Palaguna merencanakan pembangunan stadion baru di Kawasan Olahraga Sudiang (KOR Sudiang). Proyek itu dilanjutkan oleh Gubernur Amin Syam (2002-2007) dan berhasil membangun Gelanggang Olahraga (GOR), serta beberapa fasilitas olahraga lainnya. Namun, stadion baru gagal diwujudkan dengan alasan tidak mendapat izin Otoritas Bandara Sultan Hasanuddin, yang tak jauh dari lokasi rencana (Mirsan, 2003).  


Kemudian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), sebelumnya adalah Wakil Gubernur Amin Syam, berhasil mengalahkan Amin Syam dalam pemilihan gubernur tahun 2007. Gubenur SYL melihat peluang pembangunan stadion baru di Kota Makassar, tidak lagi di KOR Sudiang, tetapi di daerah Barombong. Stadion Barombong pun dibangun pada tahun 2011. Namun, megaproyek ini tidak kunjung tuntas sampai masa kepemimpinan Gubernur SYL berakhir. 


Tahun 2018, Nurdin Abdullah terpilih sebagai gubernur. Gubernur Nurdin Abdullah tidak melanjutkan Stadion Barombong dengan sejumlah alasan. Gubernur Nurdin lebih memilih mengambil alih dan membangun kembali stadion di atas lahan Stadion Mattoanging. Stadion bersejarah itu pun dirubuhkan. 


Menarik dicermati, Walikota Makassar, Danny Pomanto, tak tinggal diam dalam polemik stadion ini. Seakan menegaskan kekuasaan lokal yang dipegangnya, Walikota Danny punya ambisi sendiri untuk membangun stadion di bawah kendalinya. Walikota Danny tidak setuju dengan pilihan Gubernur Nurdin di Mattoanging dengan sejumlah alasan. Walikota Danny justru menyiapkan agenda pembangunan stadion baru di Kawasan Untia, Makassar. 


Setelah Nurdin Abdullah tidak menjabat sebagai gubernur, Stadion Mattoanging tak kunjung dibangun. Tersisa hanya puing dan lubang-lubang genangan sebagai gambaran satu kekuasaan yang ambruk. 


Di tengah meredupnya harapan publik atas stadion, beberapa bulan lalu justru Presiden Jokowi mengundang Pj. Gubernur Bahtiar (waktu itu), Walikota Danny, dan lainnya, untuk membicarakan pembangunan stadion baru melalui anggaran negara. Pj. Gubernur Bahtiar rupanya mengusulkan kembalinya pembangunan stadion di KOR Sudiang. Semua pihak sepertinya setuju. Walikota Danny yang punya impian membangun di Kawasan Untia tampak tidak lagi menunjukkan penolakannya. 


Tabir Kekuasaan


Perjalanan pembangunan stadion di Kota Makassar membuka tabir tabiat kekuasaan di era desentralisasi dan pemilihan kepala daerah langsung. Kita melihat motif kekuasaan yang berbeda di balik fitur perkotaan. Di era Bung Karno dan Andi Mattalatta, kekuasaan hadir pada fitur perkotaan untuk kepentingan nasional. Konflik kekuasaan lokal dalam pembangunan stadion di Kota Makassar tidak menunjukkan arah ke sana. Justru sangat terasa motif representasi personal, yaitu usaha untuk membangun asosiasi antara penguasa lokal dan stadion. 


Namun, kembalinya peran negara, yakni turun tangannya Presiden Jokowi, dalam rencana pembangunan stadion di Kota Makassar tidak dapat diabaikan begitu saja. Seperti yang disebut di atas, ada makna yang ingin dibentuk, ada yang mungkin ingin disembunyikan.




No comments:

Post a Comment