Tulisan Teman Kota

  

Ilustrasi ruang ketiga. (Sumber: dari berbagai sumber di https://id.pinterest.com/)

"The place for them all, a meeting place for lovers, a club for people of common tastes or interests, an office for the occasional businessman, a resting place ' for the dreamer, and a home for many a lonely soul” (Oldenburg 1982)"

Oldenburg pertama kali mengenalkan istilah third place (ruang ketiga) dalam bukunya yang berjudul "The Great Good Place". Dia menggambarkan "ruang ketiga" sebagai oasis di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern pada ruang-ruang perkotaan. Ruang pertama adalah rumah, tempat kita beristirahat dan berkumpul dengan keluarga. Ruang kedua adalah tempat kerja, sekolah atau kampus, di mana kita mengejar ambisi dan tanggung jawab sehari-hari. Namun, di antara dua dunia ini, terdapat ruang ketiga—tempat yang tak kalah pentingnya, di mana kita bisa melepaskan diri dari tuntutan dan kewajiban.  Dalam ruang ketiga, jika mengikuti defenisi Oldenburg, kita menemukan kehangatan yang langka di zaman yang serba cepat ini. Di sini, waktu seolah melambat, memberi kita kesempatan untuk bernafas dalam-dalam dan meresapi momen-momen kecil yang bermakna. Ruang ini menjadi tempat pertemuan jiwa-jiwa yang mencari, yang merindukan sebuah pelarian sejenak dari rutinitas.  Dengan cara yang sederhana namun kuat, Oldenburg menggambarkan ruang ketiga sebagai tempat di mana kemanusiaan kita dipulihkan, di mana kita menemukan kembali hubungan-hubungan yang hilang dan merayakan kebersamaan yang penuh makna. 

Ruang ketiga adalah kafe di sudut jalan, taman kota yang tenang, perpustakaan dengan aroma buku tua yang menenangkan, kedai kopi favorit, atau mungkin hanya sekedar pos ronda dan dekker-dekker di komplek perumahan. Di sini, batasan sosial luntur, percakapan mengalir tanpa beban, dan identitas kita melepaskan seragam-seragamnya. Ini adalah tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri sepenuhnya, terhubung dengan orang lain tanpa pretensi, dan merayakan kebebasan dalam kebersamaan.  

Ide dan konsep dari Oldenburg ini segera menarik perhatian berbagai kalangan, termasuk para pemasar dan pelaku bisnis. Para pemasar dengan cepat menyadari potensi komersial dari konsep ini. Salah satu perusahaan pertama yang berhasil mengadopsi dan mengeksploitasi konsep ruang ketiga adalah Starbucks. Di bawah kepemimpinan Howard Schultz, Starbucks berusaha untuk menjadi "ruang ketiga" bagi pelanggan mereka. Schultz memahami bahwa orang tidak hanya mencari tempat untuk membeli kopi, tetapi juga mencari tempat di mana mereka bisa merasa nyaman, diterima, dan terhubung dengan orang lain.

Starbucks mengembangkan kedai kopi mereka dengan desain interior yang nyaman, suasana yang mengundang, dan berbagai layanan tambahan, yang semuanya bertujuan untuk membuat pelanggan merasa seperti berada di "rumah kedua" mereka. Dalam buku Coffee and The City (Holm, 2010), Starbucks menciptakan lingkungan di mana orang bisa bekerja, bertemu teman, atau hanya bersantai dengan segelas kopi, menjadikannya lebih dari sekadar tempat untuk membeli minuman. Mereka menempatkan kedai kopi mereka di lokasi-lokasi strategis yang mudah diakses, menciptakan ekosistem ruang ketiga yang nyaman dan universal.

Strategi ini terbukti sukses besar dan segera diikuti oleh banyak perusahaan lain di seluruh dunia. Kedai kopi, restoran, dan berbagai bisnis sejenis mulai mendesain ulang ruang-ruang mereka agar lebih ramah dan nyaman, dengan harapan menarik lebih banyak pelanggan untuk tinggal lebih lama, bersosialisasi, dan tentunya, menghabiskan lebih banyak uang. Bahkan toko-toko buku seperti Barnes & Noble di Amerika Serikat, yang mulai memasukkan kafe ke dalam toko mereka, mencoba menciptakan ruang ketiga yang serupa. McD memperkenalkan McCafé, Tim Hortons, jaringan kafe dan restoran cepat saji di Kanada mengadaptasi konsep serupa, hingga muncul tempat bernama cowoking-space.

Pergeseran makna ruang ketiga
Ruang ketiga, yang dahulu dikenal sebagai tempat untuk melarikan diri dari kesibukan sehari-hari dan berkumpul dalam percakapan hangat, kini mengalami pergeseran makna di era digital ini. Dahulu, ruang ketiga adalah kafe dengan aroma kopi yang menguar, atau taman kota yang dipenuhi suara tawa, di mana orang-orang bersosialisasi, bertukar cerita, dan menjalin hubungan dalam keintiman fisik.  Namun, generasi hari ini hidup dalam dunia yang terhubung tanpa batas, di mana pekerjaan dan gaya hidup tidak lagi terikat oleh dinding kantor atau jam kerja yang kaku. Mereka mencari fleksibilitas, kebebasan untuk memilih di mana dan kapan mereka bekerja, bahkan di ruang ketiga yang dulunya hanya menjadi tempat pelarian. Kedai kopi dan kafe kini menjadi kantor dadakan, meja yang dulunya tempat berbagi cerita, kini dipenuhi oleh laptop, smartphone, dan tablet.  

Di satu sisi, ada yang melihat pemandangan ini sebagai kehilangan kehangatan dari ruang ketiga. Pada ruang-ruang ketiga, banyak individu yang merasa kesepian duduk sendirian di depan komputer mereka (Cheung, 2013). Mereka yang duduk sendiri di depan layar, terfokus pada dunia virtual, tampak terputus dari interaksi sosial fisik yang selama ini menjadi esensi dari ruang ketiga. Kafe yang ramai dengan deru percakapan kini bergema dengan ketukan keyboard dan suara notifikasi.  

Namun, jika kita lihat lebih dalam, fenomena ini tidak sepenuhnya menghilangkan makna ruang ketiga, tetapi memperluasnya. Mereka yang tampak sendiri sebenarnya terhubung dengan jaringan yang lebih luas melalui Internet. Hubungan yang tercipta mungkin tidak seerat ikatan fisik, namun mereka menciptakan jaringan sosial yang lemah tetapi lebih luas, membuka peluang untuk partisipasi sosial yang lebih besar. Dunia maya menjadi jembatan yang menghubungkan emosi dan perasaan, meskipun jarak fisik memisahkan.  Wi-Fi di ruang ketiga memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan 'rumah'—baik secara emosional maupun sosial—tanpa pernah benar-benar terputus. Dunia digital telah menyatu dengan dunia fisik, menciptakan ruang hibrida di mana percakapan dan koneksi terjadi tidak hanya di depan mata kita, tetapi juga di dalam jaringan global yang tak terlihat.  

Ruang ketiga telah berevolusi menjadi tempat di mana interaksi tidak lagi dibatasi oleh kehadiran fisik. Di tengah kesunyian yang tampak, terjadi pertemuan-pertemuan intens yang melintasi ruang dan waktu. Ruang ketiga kini menjadi cerminan dari dunia modern yang terus berubah—di mana keintiman dan keterhubungan dapat ditemukan di balik layar, di dalam setiap pesan, setiap email, setiap tap dan klik. Ini adalah ekspresi baru dari kebersamaan, yang melampaui batas-batas fisik dan merangkul kemungkinan tanpa batas dari dunia digital.

Oldenburg memandang ruang ketiga sebagai fondasi dari interaksi sosial yang nyata, di mana orang bertemu secara langsung, berbagi cerita, dan terlibat dalam percakapan yang mendorong rasa kebersamaan di lingkungan mereka.  Namun, dengan kemajuan teknologi, batasan fisik dari ruang ketiga mulai memudar. Kini, ruang-ruang ini tidak hanya terbatas pada tempat fisik, tetapi (secara ekstrim) meluas ke platform digital seperti grup obrolan online, forum, dan jejaring sosial. Beberapa peneliti, seperti Soukup (2006), berpendapat bahwa ruang ketiga telah berevolusi seiring dengan zaman, melibatkan ruang-ruang virtual di mana orang tetap dapat terhubung dan berinteraksi meski tidak secara fisik berada di tempat yang sama.  

Oldenburg sendiri skeptis terhadap gagasan ini. Dia mengkritik upaya untuk menerapkan konsep ruang ketiga pada ruang virtual, karena baginya, esensi dari ruang ketiga adalah interaksi sosial yang terjadi di tempat fisik—tempat di mana orang benar-benar bertemu, bersosialisasi, dan membangun komunitas di lingkungan mereka sendiri. Kritik Oldenburg ini juga didukung oleh barbagai peneliti (misalnya: Ducheneaut et al., 2004; Steinkuehler & Williams, 2006). Oldenburg berpendapat bahwa ruang ketiga adalah tempat di mana hubungan antarmanusia terbentuk melalui kehadiran fisik, bukan hanya melalui layar dan koneksi internet.  Mehta & Bosson (2010) turut mendukung Oldenburg, mereka menekankan bahwa ruang ketiga adalah tempat nyata yang dikunjungi orang untuk bertemu teman dan tetangga, untuk bersosialisasi dan bercengkerama secara langsung. Bagi mereka, ruang ketiga adalah cerminan dari kehidupan komunitas yang sejati, di mana interaksi sosial yang hangat dan tatap muka menjadi inti dari pengalaman tersebut.  

Namun, di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa konsep ruang ketiga juga terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan gaya hidup. Teknologi digital telah mengubah cara orang berinteraksi dan bekerja. Semakin banyak kafe yang menyediakan Wi-Fi gratis, dan mendukung penggunaan perangkat mobile. Hal ini telah mendorong transformasi ruang sosial menjadi tempat kerja, di mana pelanggan tidak lagi hanya datang untuk bersosialisasi, tetapi juga untuk bekerja, berselancar di internet, atau berinteraksi secara online (Henriksen & Tjora, 2018).  

Di dunia yang semakin terhubung ini, konsep "kerja jarak jauh" atau remote work menjadi semakin umum, yang membuka peluang bagi munculnya ruang kerja bersama atau co-working space. Ruang ketiga modern kini memungkinkan individu yang berbagi ruang fisik untuk tetap terhubung dengan jaringan sosial mereka secara digital. Meskipun mereka mungkin tidak berbicara langsung dengan orang lain di kafe, mereka tetap memperluas atau merawat hubungan mereka melalui platform online.  Dialektika antara pandangan Oldenburg dan peneliti lain yang mendukung ruang fisik sebagai esensi dari ruang ketiga dengan pendapat yang melihat perkembangan ruang ketiga ke dunia digital mencerminkan bagaimana ruang ketiga terus berkembang seiring dengan perubahan sosial, teknologi, dan gaya hidup. Ruang ketiga, baik fisik maupun digital, tetap menjadi tempat penting di mana manusia mencari koneksi, baik secara langsung maupun melalui jaringan yang lebih luas.

Makassar dan Ruang Ketiga
Di Kota Makassar, ruang ketiga telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan urban yang dinamis dan penuh warna. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kota ini, kedai kopi (baca: warkop), kafe, dan coworking space tumbuh subur di sudut-sudut kota, menawarkan lebih dari sekadar tempat untuk menyeruput kopi atau menyelesaikan pekerjaan.  Ruang-ruang ini telah menjadi magnet bagi semua kalangan, namun terutama diramaikan oleh generasi muda yang haus akan kreativitas dan kebebasan. Di sini, para mahasiswa, pekerja lepas, pengusaha bisnis rintisan (startup), dan kreator konten menemukan tempat di mana mereka bisa bekerja, bersantai, dan terhubung dengan orang-orang yang sejalan dengan visi mereka. Kedai kopi dengan desain interior yang instagrammable, barista yang menyajikan kopi dengan seni latte yang indah, dan Wi-Fi berkecepatan tinggi menjadi kombinasi yang sulit untuk ditolak.

Bikin-bikin, salah satu coworking-space di Kota Makassar (sumber: tribun timur)


Kafe dan kedai kopi di Makassar kini lebih dari sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi. Mereka telah berkembang menjadi ruang ketiga yang modern, di mana ide-ide besar dicetuskan di tengah dentingan sendok yang menyentuh cangkir, di mana kolaborasi lahir dari percakapan santai di meja kayu yang sederhana. Ruang-ruang ini menyatu dengan ritme kehidupan kota, menawarkan tempat yang nyaman untuk melarikan diri dari kesibukan sehari-hari sambil tetap produktif.  

Coworking space, yang dulu mungkin hanya dikenal di kalangan profesional tertentu, kini menjadi destinasi populer bagi mereka yang mencari lingkungan kerja yang fleksibel dan dinamis. Kita mengenal Miles Coworking space di Jl. Jambu, Confie di Penjernihan Raya, Coffice di Jl. Karunrung, bahkan Bikin-bikin yang letaknya benar-benar di dalam mall. 

Ya benar, di dalam Mall. Di sini, mereka dapat memulai hari mereka dengan sesi kerja yang fokus, kemudian menikmati istirahat makan siang di restoran pilihan yang hanya beberapa langkah dari meja kerja mereka. Mall yang dulunya hanya dianggap sebagai tempat berbelanja dan bersantai kini telah berevolusi menjadi hub multifungsi, di mana produktivitas dan gaya hidup berbaur. Masih banyak lagi coworking space di Kota Makassar dengan harga sewa yang terjangkau dan fasilitas yang lengkap, ditambah kedai kopi, cafe dan bahkan perpustakaan, toko buku, minimarket yang turut menyediakan cafe. 
Tempat-tempat ini menjadi pilihan favorit bagi banyak anak muda yang ingin bekerja di luar batasan kantor tradisional. Di sini, batas antara bekerja dan bersosialisasi menjadi kabur, karena keduanya terjadi secara alami dan simultan.  Kedai kopi, kafe, dan coworking space di Kota Daeng ini tidak hanya menjadi tempat berkumpul para kakanda dan adinda aktivis, tetapi juga cermin dari semangat zaman—di mana kreativitas, kebebasan, dan teknologi bersatu. Mereka adalah ruang di mana generasi muda merayakan individualitas mereka sambil tetap terhubung dengan komunitas yang lebih luas. Di tempat-tempat inilah, impian dan inspirasi bertemu, di mana karya dan kolaborasi lahir dari percakapan yang hangat dan suasana yang menyenangkan.  

Ruang ketiga di Kota Makassar, dengan segala keragamannya, mencerminkan perubahan sosial dan budaya yang terjadi di tengah masyarakat urban. Mereka adalah saksi bisu dari evolusi cara kita bekerja, bersosialisasi, dan menciptakan, sekaligus menjadi tempat di mana kenangan dan pengalaman berharga tercipta setiap harinya. Di sudut-sudut kota yang penuh dengan kehidupan ini, ruang ketiga terus berdenyut, menawarkan tempat untuk semua kalangan, dari mereka yang hanya ingin menyeruput kopi sambil membaca buku, hingga mereka yang ingin mengubah dunia dengan ide-ide mereka.


Daftar Pustaka
  1. Cheung, J. C.-S. (2013). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Journal of Social Work Practice, 27(4), 471–474. https://doi.org/10.1080/02650533.2013.769209
  2. Ducheneaut, N., Moore, R. J., & Nickell, E. (2004). Designing for Sociability in Massively Multiplayer Games: an Examination of the “Third Places” of SWG. Conference Proceedings for Other Players, Center for Computer Games Research, IT University of Copenhagen, DK, 1–14. https://www.ics.uci.edu/~wscacchi/GameLab/Recommended%20Readings/Sociability-MMOG-Ducheneaunt-2004.pdf
  3. Henriksen, I. M., & Tjora, A. (2018). Situational Domestication and the Origin of the Cafe Worker Species. Sociology, 52(2), 351–366. https://doi.org/10.1177/0038038516674663
  4. Holm, E. D. (2010). Coffee and the city : towards a soft urbanity. https://aho.brage.unit.no/aho-xmlui/handle/11250/2453724
  5. Mehta, V., & Bosson, J. K. (2010). Third Places and the Social Life of Streets. Environment and Behavior, 42(6), 779–805. https://doi.org/10.1177/0013916509344677
  6. Oldenburg, R. (2013). The Café as a Third Place. In A. Tjora & G. Scambler (Eds.), Café Society (pp. 7–21). Palgrave Macmillan US. https://doi.org/10.1057/9781137275936_2
  7. Oldenburg, R., & Brissett, D. (1982). The third place. Qualitative Sociology, 5(4), 265–284. https://doi.org/10.1007/BF00986754
  8. Soukup, C. (2006). Computer-mediated communication as a virtual third place: building Oldenburg’s great good places on the world wide web. New Media & Society, 8(3), 421–440. https://doi.org/10.1177/1461444806061953
  9. Steinkuehler, C. A., & Williams, D. (2006). Where Everybody Knows Your (Screen) Name: Online Games as “Third Places.” Journal of Computer-Mediated Communication, 11(4), 885–909. https://doi.org/10.1111/j.1083-6101.2006.00300.x
 



No comments:

Post a Comment