Sebelum menjual dan mengibarkannya pada dunia. Kami harus membersihkan dahulu senja kami yang jelita dari dosa-dosa negara. Sayang, kami tak bisa menghilangkan noda duka kekasih-kekasih kami yang telah binasa. Itu dulu kampungku, itu dulu halamanku, itu dulu tanah airku. Senja kami adalah bendera pusaka nestapa kami.
(Perdagangan Senja_oleh Joko Pinurbo)
Dewasa ini, jika membayangkan penglihatan manusia tak lagi bisa menatap senja yang dijadikan imaji dalam karya para penyair, menyaksikan burung beterbangan di kala senja yang menyala, sisi romantisme manusia hidup menjadi nestapa dalam kenyamanan. Manusia perlu meluapkan emosi dengan meninggalkan kepenatan dan kesibukan untuk menikmati alam. Namun seiring waktu berlalu, senja di langit seakan memudar ditelan oleh kabut asap akibat degradasi karena polusi, berbagai kegiatan industri, dan peningkatan jumlah kendaraan.
Memaknai puisi “Perdagangan Senja” oleh penyair Joko Pinurbo sangat erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan di atas eksploitasi dan kebakaran hutan yang semakin memprihatinkan. Dampak dari degradasi lingkungan, seperti perubahan iklim yang semakin ekstrim, deforestasi hutan secara besar-besaran, es di kutub mencair (di tahun 2007 misalnya, dunia telah dikejutkan oleh mencairnya es di daerah Antartika), penyebaran penyakit, spesies tanaman dan hewan terancam dan akan mengalami kepunahan. Pada akhirnya, kita akan berada pada titik krisis dan bencana lingkungan hidup global. Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), suhu udara rata-rata tahun 2023 adalah sebesar 27,2 °C. Kemudian pada tahun 2021-2050, dua miliar orang akan berhadapan langsung dengan suhu yang bisa meroket sampai 60 °C, titik panas di mana tubuh tidak dapat bertahan lebih dari enam jam (The Future We Choose Surviving the Climate Crisis dalam narasi, 2022). Data ini menjadi titik temu bahwa climate change is real dimana tahun 2023 Indonesia menempati urutan ke-2 tahun terpanas dengan anomali sebesar 0,5 °C (https://bmkg.go.id).
Bagi generasi muda, para pengiat sastra, akademisi, masyarakat dan pihak pemegang kekuasaan yang mencintai lingkungan, keberadaan karya-karya sastra bernuansa lingkungan asri dan hijau sangat bermakna, bukan hanya sebagai ‘obat pelipur lara’ di tengah degradasi lingkungan saat ini, namun juga sebagai bahan kajian (ekokritik) dalam upaya membangun kesadaran berwawasan lingkungan. Ekokritik itu sendiri merupakan teori baru dalam menelaah relasi antara sastra dan lingkungan hidup. Ekokritik berasal dari kata Yunani eikos yang berarti ‘rumah’ dan logos yang berarti ‘ilmu’. Ekokritik dekat dengan teori poskolonial karena keduanya menawarkan diskursus melawan kekuasaan yang bersifat kolonial dan/atau kapitalis (Clark, 2011 dalam Dewi, 2016). Dalam pandangan ekokritik Marxis (Marxism Ecocriticism), degradasi lingkungan dan kerusakan alam adalah akibat dari eksploitasi lingkungan dan eksploitasi berbagai sumber alam yang dilakukan tangan-tangan kapitalis (Sukmawan, 2016).
Pada 1978 kritikus William Ruecker memunculkan istilah ecocriticism, kritik sastra lingkungan, dalam artikelnya yang berjudul “Sastra dan Lingkungan” di jurnal IOWA Review (kata pengantar ahli dalam buku Ekokritik Sastra: Menanggap Sasmita Arcadia, 2016). Pada tahun 1992 digagas dan dikembangkan asosiasi kajian sastra dan lingkungan (Association for the Study of Literature and Enrironment) oleh para kritikus sastra yang memiliki ketertarikan pada representasi alam dan lingkungan dalam berbagai karya sastra. Kemudian Thoreu dalam buku Ekofemis (Wiyatmi dkk, 2019:6), karyanya dijadikan cikal bakal sastra hijau di Amerika Serikat yaitu sastra penyelamatan bumi atau lingkungan yang disebut sebagai ecocriticism, sebagai ilmu baru di bidang sastra.
Di Indonesia, geliat kajian sastra lingkungan sudah mulai dapat kita temukan. Timbulnya gerakan sastra hijau, yang di Indonesia antara lain digagas oleh Komunitas Raya Kultura yang dipelopori oleh Novelis Naning Pranoto, menunjukkan adanya perhatian yang serius dari sejumlah sastrawan dan pecinta sastra terhadap alam dan lingkungan (Wiyatmi dkk, 2019:30). Dari hasil penelitian berjudul Dekonstruksi terhadap Kuasa Patriarki atas Alam, Lingkungan Hidup, dan Perempuan dalam Novel-novel Indonesia (Wiyatmi, dkk, 2019:32) paling tidak berhasil dikaji 12 judul novel yang mengangkat isu ekofeminisme. Dari kedua belas novel tersebut, sebagian besar secara tematis menggambarkan perjuangan para tokohnya dalam melakukan dekonstruksi terhadap kuasa patriarki yang melukai dan merugikan alam, lingkungan hidup, dan kaum perempuan, yaitu (1) Bunga karya Korrie Rayu Rampan, (2) Api Awan Asap karya Korrie Rayu Rampan, (3) Bilangan Fu karya Ayu Utami, (4) Partikel karya Dee Lestari, (5) Isinga karya Dorothea Rosa Herliany, (6) Lemah Tanjung karya Ratna Indaswari Ibrahim, (7) Sali karya Dewi Linggasari. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa melalui novel dengan isu ekofeminisme, para sastrawan Indonesia melakukan dekonstruksi terhadap kuasa patriarki yang melakukan dekonstruksi terhadap alam, lingkungan, dan perempuan.
Melalui ekokritik dalam buku The Ecocritism Reader adalah hidangan pembuka yang mencerahkan ke dalam bidang studi yang sepenuhnya terlibat dengan masalah kontemporer paling mendesak, krisis lingkungan global. Melalui peningkatan ekokritik dalam upaya menjadi generasi melek ekologi menjadi dasar bahwa, inspirasi dan sumber dari apa yang disebut Capra sebagai kearifan lokal, ‘selama lebih dari tiga miliar tahun evolusi, ekosistem planet bumi mengorganisir dirinya secara sedemikian samar-samar dan kompleks untuk meningkatkan keberlannjutannya.’ Kearifan alam inilah yang merupakan hakikat dari melek lingkungan hidup (Keraf, 2014:128).
Kemudian (Keraf, 2010:115) menuliskan kembali, yang pertama-tama dan paling mendasar yang harus terjadi adalah perubahan cara pandang kita terhadap alam dan lingkungan hidup, dibutuhkan kesadaran baru bahwa alam dan lingkungan hidup mempunyai nilai pada dirinya sendiri bukan hanya sekedar nilai instrumental bagi kepentingan manusia. Implementasi dari perubahan pertama di atas adalah wujud perubahan paradigma dan kebijakan pembangunan serta didukung oleh aksi nyata dalam melakukan perubahan. Dari kajian dan pelopor seperti inilah yang kedepannya menjadi titik awal dalam memberi napas hijau sebagai generasi yang akan ikut andil dalam upaya penyadaran dan pencerahan akan pentingnya melek ekologi.
Referensi
Dewi, Novita. Ekokritik dalam Sastra Indonesia: Kajian Sastra yang Memihak. Program Magistem Kajian Bahasa Inggris Unversitas Sanata Dharma. Adabiyyat, Vol. XV, No. 1, Juni 2016.
Keraf, Sonny. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius.
Keraf, Sonny. 2014. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius.
Pinurbo, Joko. 2021. Salah Piknik. Jakarta: Gramedia.
Sukmawan, Sony. 2016. Ekokritik Sastra: Menanggap Sasmita Arcadia. Malang: UB Press.
Wiyatmi, dkk. 2019. Ekofeminisme Kritik Sastra Berwawasan Ekologi dan Feminis. Yogyaarta: Cantrik Pustaka.
Situs Web
https://www.bmkg.go.id/iklim/anomali-suhu-udara-tahunan.bmkg?p=anomali-suhu-udara-rata-rata-tahun-2023&tag=&lang=ID. Diakses melalui google.com, 3 Agustus 2024.
https://www.bmkg.go.id/iklim/?p=ekstrem-perubahan-iklim. Diakses melalui google.com, 27 Oktober 2022.
https://youtu.be/rGTbJssfVol. 2050 Andai Kita tak Melakukan Apa-apa. Diakses melalui youtube.com, 27 Oktober 2022.
No comments:
Post a Comment